PENTINGNYA TASAWUF
BAGI UMAT ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Agama 3
Disusun Oleh :
Nama : SUGIYONO
NIM : 7007015
FAKULTAS TEKNIK DAN ILMU KOMPUTER
PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL IIIB
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN JAWA TENGAH
DI WONOSOBO
2008
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang diberi judul “PENTINGNYA TASAWUF BAGI UMAT ISLAM”.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini, sehingga menjadi lebih baik. Dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Penyusun menyadari bahwa disana-sini dalam makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan kekeliruannya. Penyusun dengan senang hati menerima koreksi dan teguran dari pembaca untuk kelengkapan dan perbaikan makalah ini.
Untuk itu penyusun menyampaikan maaf dan ucapan terima kasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Wonosobo, November 2008
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I LATAR BELAKANG 1
BAB II PEMBAHASAN 3
A. HAKIKAT 3
B. DISORIENTASI MANUSIA MODERN 4
BAB III PENUTUP 7
A. KESIMPULAN 7
B. SARAN 8
DAFTAR PUSTAKA 9
BAB I
LATAR BELAKANG
TASAWUF adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritual dari Islam. Spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka didalamnya. Dalam kaitannya dengan manusia, tasawuf lebih menekankan aspek rohaninya ketimbang aspek jasmaninya; dalam kaitannya dengan kehidupan, ia lebih menekankan kehidupan akhirat ketimbang kehidupan dunia yang fana; sedangkan dalam kaitannya dengan pemahaman keagamaan, ia lebih menekankan aspek esoterik ketinbang eksoterik, lebih menekankan penafsiran batini ketimbang penafsiran lahiriah.
Mengapa tasawuf lebih menekankan spriritualitas dalam berbagai aspeknya? Ini karena para ahli tasawuf, yang kita sebut sufi, memercayai keutamaan “spirit” ketimbang “jasad,” memercayai dunia spiritual ketimbang dunia material. Secara ontologis mereka percaya bahwa dunia spiritual lebih hakiki dan real dibanding dengan dunia jasmani. Bahkan sebab terakhir dari segala yang ada ini, yang kita sebut Tuhan, juga bersifat spiritual. Karena itu, tealitas sejati bersift spiritual, bukan seperti yang disangkakan kaum materialis bahwa yang real adalah yang bersifat material. Begitu nyata status onotologis “Tuhan” yang spiritual tersebut, sehingga para sufi berkeyakinan bahwa Dialah satu-satunya Realitas Sejati; Dialah “asal” dan sekaligus “tempat kembali, “ alfa dan omega. Hanya kepada-Nyalah para sufi mengorientasikan jiwa mereka, Karena Dialah buah kerinduan mereka, dan kepada-Nya mereka akan berpulang untuk selama-lamanya.
Manusia memiliki dua rumah, satu rumah jasadnya, yaitu dunia rendah ini, yang lain rumah rohnya, yaitu alam yang tinggi. Tetapi karena hakikat manusia terletak pada rohnya, maka manusia merasa terasing di dunia ini, karena alam rohanilah tempat roh atau jiwa manusia yang sesungguhnya. Perasaan terasing inilah yang kemudian memicu sebuah “pencarian mistik” (mystical quest) dari seorang manusia, dan dengan itu pula manusia memulai perjalanan spiritualnya menuju Tuhannya. Inilah yang kita sebut “tarekat” (thariqah). Namun, karena Tuhan sebagai “tujuan akhir perjalanan manusia” bersifat rohani, manusia harus berjuang menembus rinrangan-rintangan materi agar rohnya menjadi suci. Itulah sebabnya kata “tasawuf” dikatakan berasal dari “shafa’,” yang artinya kesucian, yakni kesucian jiwa sang sufi setelah mengadakan “penyucian” jiwa dari kotoran-kotoran atau pengaruh-pengaruh jasmani. Penyucian (katarsis/tazkiyah) ini penting dalam rangka medekatkan diri kepada Yang Mahasuci, yaitu Allah SWT, karena Yang Mahasuci, hanya bisa didekati oleh yang suci juga.
Dari keyakinan ini, muncullah cara hidup spiritual yang pada prinsipnya bertujuan pada “pendekatan” dengan ”sumber dan “tujuan” hidupnya, yaitu Tuhan . Cara hidup spiritual ini bisa mengambil bentuk menyebut-nyebut nama-nama Tuhan, atau yang dikenal dengan istilah “dzikr,” dengan mana seorang sufi memenuhi jiwanya dengan nama-nama (asma) Tuhan, sehingga dapat merasakan kehadiran dan kedekatan-Nya; atau dalam bentuk merenungkan dan berulang-ulang membaca firman-Nya, dengan penuh kecintaan agar dengan begitu seorang sufi dapat memahami “kehendak” Tuhan dan menghayati “hikmah” dan “pelajarn” (‘ibrah) yang terkandung di dalamnya; atau dalam bentuk “bersendirian dengan Tuhan” (tahannuts) di tengah malam buta, ketika yang lain sedang tertidur lelap, atau apa yang dikenal sebagai “qiyam al-lail”, sehingga dengan demikian tercapai hubungan intim dan personal dengan Tuhan. Muncullah dari sisni buah hubungan ini dalam bentuk “munajat-“munajat” atau “lama’at”, yakni lintasan-lintasan cahaya ilahi.
Untuk mengintensifkan spiritualitasnya, sang sufi berusaha mengatasi berbagai rintangan yang akan menghambat lajunya pertemuan dengan Tuhan, inilah yang disebut “tazkiyat al-anfus”, penyucian diri, yang bisa berbentuk menahan diri dari hawa nafsu, syahwat, dan amarah. Membersihkan dir idari sifat-sifat tercela, atau melakukan latihan-latihan jiwa (riyadhat al-nafs) dalam berbagai disiplin, termasuk berpuasa, ‘uzlah, dan latihan jiwa yang lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. HAKIKAT
Para sufi menyebut diri mereka “ahl al-haqiqah.” Penyebutan ini mencerminkan obsesi mereka terhadap kebenaran yang hakiki. Kaerena itu, mudah dipahami kalau mereka menyebut Tuhan dengan “al-Haqq,” seperti yan tercermin dalam ungkapan al-Hallaj (w.922), “ana al-Haqq” (aku adalah Tuhan). Obsesi terhadap hakikat (relitas absolute) ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula “la ilaha illa Allah” yang mereka artikan “tidak ada relitas yang sejati kecuali Allah.”
Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, keberadaan yang absolute, sedangkan yang lain keberadaannya tidaklah hakiki, atau nisbi, dalam arti tergantung pada kemurahan Tuhan. Dialah yang Awal dan yang Akhir, yang Lahir dan yang Batin, penyebab dari segala yang ada dan tujuan akhir, tempat mereka kembali. Ibarat matahari, Dialah yang memberi cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi di dalam kegelapan tersebut. Dia jualah pemberi wujud, sehingga benda-benda dunia menyembul dari persembunyiannya yang panjang.
Al-Qur’an menggambarkan Tuhan sebagai “al-Awwal” dan
”al-Akhir,” “al- Zhahir” dan “al-Bathin.” Al-Awwal dipahami para sufi sebagai sumber atau prinsip atau asal dari segala yang ada Dia-lah causa prima, sebab pertama dari segala yang ada (maujudat) di dunia. Dia yang akhir diartikan sebagai “tujuan akhir” atau “tempat kembali” dari segala yang ada di dunia ini, termasuk manusia. Dialah “pulau harapan” kemana bahtera kehidupan manusia berlayar. Dialah “kampung halaman” kemana perjalanan spiritual seorang sufi mengalir. Dialah “sang kekasih” kemana sang pencinta selalu mendamba pertemuan. Inilah tujuan akhir, tempat sang sufi mengorientasikan seluruh eksistensinya.
Tuhan juga digambarkansebagi “yang Lahir” dan “yang Batin” dan ini menggambarkan “imanensi” dan “transendensi” Tuhan. Bagi para sufi, alam lahir (dunia indrawi) adalah cermin Tuhan, atau “pantulan Tuhan dalam cermin.” Bagi mereka, alam lahir merupakan refleksi atau manifestasi Tuhan, dan karena itu tidak berbeda dari diri-Nya, tapi juga tidak sama (identik). Ketidaksamaan (tanzih)-nya ini terletak dalam sifat diri-Nya sebagai yang Batin. Sebagai yang Batin, Tuhan berbeda atau mentransenden alam lahir . Dia adalah sumber, prinsip atau sebab, sedangkan alam adalah turunan, derivative dan akibat dari-Nya. Tuhan adalah mutlak, sedangkan alam adalah nisbi. Tuhan ibarat matahari sedangkan alam adalah cahayanya, tetapi cahaya sangat tergantung padanya. Sifat dasar diri-Nya dalah niscaya atau wajib, sedangkan sifat dasar alam adalah mungkin pada dirinya.
Pernyataan “la ilaha illa Allah” ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya, sebagai realitas. Konsep “fana” atau “fana al-fana” adalah ekspresi sufi akan penafian dirinya, sedangkan konsep “baqa’” adalah afirmasi trerhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah, atau Tuhan yang diekspresikan dalam formula itu sebagai “illa Allah.” Fana dan baqa’ dipandang sebagi “stasiun” (maqam) terakhir yang dapat dicapai oleh seorang sufi. Para sufi berdaya upaya sedapat mungkin untuk mencapai ‘maqam’ tersebut, termasuk membunuh “ego”nya sendiri yang dipandang sebagai ‘kendala’ atau menurut istilah mereka ‘berhala terbesar’ yang bisa menghalangi perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah mereka di-‘ikhlas’-kan atau dibersihkan dari segala unsur syirik, sebagai syarat diperkenankannya masuk ke hadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, “Sebuah lubang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.”
B. DISORIENTASI MANUSIA MODERN
Telah banyak diakui bahwa manusia modern telah mengalami apa yang disebut oleh Nasr sebagai krisis spiritual. Krisis spiritual ini barangkali terjadi sebagai akibat dari pengaruhs ekularisasi yang telah cukup lama menerpa jiwa-jiwa manusia modern. Pegaruh pandangan dunia modern dalam berbagai bentuknya naturalisme, materialisme, positvesme, memiliki momentumnya yang berarti setelah sains modern, beserta teknologi yang dibawanya, memutuskan untuk mengambil pandangan sekuler khususnya positivesme ala Comte sebagai dasar filosofisnya. Pengaruh sains yang besar dalam kehidupan modern, dengan sengaja atau tidak, telah menyebarkan pandangan sekuler tersebut sampai ke lubuk jantung dan hati manusia modern.
Pandangan dunia sekuler, yang hanya mementingkan kehidupand uniawi, telah secara signifikan menyingkirkan manusia modern dari segala aspek spiritualitas. Akibatnya mereka hidup secara terisolir dari dunia-dunia lain yang bersifat nonfisik, yang diyakini adanya oleh para sufi, Mereka menolak segala dunia nonfisik seperti dunia imajinal atau spiritual sehingga terputus hubungan dengan segala realitas-realitas yang lebih tinggi daripada sekadar entitas-entitas fisik.
Bagi mereka, kehidupan dimulai di dunia ini dan gerkhir juga dikunia ini, rtampa tahu dari mana ia berasal danhendak kemana setelah ini ia pergi. Bukankah Heidegger pernah megatakan bahwa manusia di dunia ini terdampar tanpa tahu dari mana. Demikian juga mereka percaya bahwa hidup akan berkhir juga disini, dalam perisiwa kematian, dan tidak ada lagi kehidupan setelah itu. Padahal dalam kepercayaan para sufi, seperti telah terlukiskan dalam bab-bab tentang perjalanan spiritual, alam dunia ini hanya satu dari sekian banyak dunia yang telah dan akan kita lalui. Akibatnya, manusia modern hanya berkutat di satu dunia ini saja, seakan mereka tidak pernah punya asal dan tempat kembali.
Krisis spiritual ini pada gilirannya telah menimbulkana pa yangs aya sebut sebagi “disorientasi” pada manusia moden, Ketika kita mengatakan “orientasi’, ini tentu mengandung arti “memberi arah”, dan dengan demikian orientasi tidak bisa tidak kecuali mengandaikan adanya arah dan tujuan,. TIdak mungkin kita bisa mengorientasi diri kita, kecuali kita telah mengetahui tujuan, ke arah mana kita akan berjalan. Kata “disorientasi” yang merupakan negasi dari orientasi, karena itu, akan terjadi ketika kita tidak tahu lagi arah, mau kemana kira pergi, bahkan juga dari mana kita berasal.
Nah, kita percaya bahwa kearah langitlah (dunia spiritual) kita akan pergi, maka kita akan dapat dengan lebih mudah mengorientasikan diri kita. Tetapi ketika kita, sebagai orang modern, hanya membatasidiri kita pada dunia fisik, maka kita tidak akan dapat menurut perspektif sufistik mengorientasikan diri kita dengan benar, dan hanya akan berputar-putar tanpa arah didunia yang senantiasa berubah dan akan musnah ini.
Terakhir, keterputusan spiritual dengan dunia-dunia yang lebih tinggi, membuat manusia modern juga kehilangan kontak mereka dengan Tuhan, sumber dari segala yang ada. Sementara bagi para sufi, Tuhan adalah Alfa dan Omega, Asal dan Tempat Kembali, bagi banyak orang modern Tuhan hanyalah dipandang sebagai penghalang bagipenyelenggaraan diri mereka, dan kebebasan yang menyertainya.
Akibat keterputusan ini, maka manusia tidak lagi mengarahkan jiwanya kepada Tuhan Yang Esa yang menjadi sumber ketauhidan manusia tetapi tertumpu kepada beraneka benda-benda fisik, yang selalu timbul tenggelam, dan karena itu tidak pernah memberi mereka kepuasan dan ketenangan. Bagi para sufi, ketenangan dapat decapai hanya apabila kita telah berada dekat dengan kampung halaman kita yang sejati, asal dan tempat kembali manusia, yaitu Tuhan. Keterputusan dengan sumber adalah penyebab timbulnya perasaan terasing, gelisah dan sebangsanya, sebagaimana yang banyak diderita manusia yang hidup didunia modern ini. Karena itu, hanya dengan melakukan kontak dengan sumber, dan terus berupaya untuk mendekatkan diri kepadanya, maka manusia boleh berharap mendapat ketenangan dan kebahagiaan hidup. Kalau tidak, berharap saja pun merupakan sebuah kemustahilan. Tuhanlah tempat kembali kita, ia tempat asald an kampung halaman kita yang sejati. Bukankah Al-Qur’an sendiri berkata, “ Milik Tuhanlah kita ini, dan kepada-nya kita semua akan kembali.”
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sudah dari semula tasawuf bertujuan untuk memdekatkan diri kepada Tuhan. Tetapi, ini juga sekaligus menunjukkan betapa kita pada saat ini masih berada jauh dari-Nya, karena kita sekarang ini hidup di perantauan jauh dari asal dan tempat kembali kita yang sejati. Telah begitu jauh kita mengarungi ”dunia” ini, sehingga kita lupa akan asal dari mana kita beranjak. Rupanya debu yang mengepul tinggi ke udara telah menghalangi pendangan kita tentang asal kita. Kenyataan bahwa manusia selalu merasa gelisah, mununjukkan betapa kita masih juh dari tujuan dimana kita harus pergi. Manusia pun banyak bersedih karena perpisahan ini, sadar atau tidak., Suatu kesedihan yang diumpamakan oleh Rumi seperti sebuah seruling, yang senantiasa menyanyikan kepiluan hatinya karena terpisah dari pohon induknya.
Dengan mengetahui asal-usul kita, baik asal-usul fisik maupun spiritual, maka kita bisa mengarahkan diri kita secara proporsional, baik untuk kesejahteraan hidup di dunia maupun untuk akhirat nanti. Dunia ini hanyalah tempat singgah sementara, bukan tempat tinggal kita yang sejati. Olah karena itu, seyogianyalah kita pun mengambil bekal secukupnya saja untuk melanjutkan perjalanan spiritual kita menuju Tuhan, dan tidak maruk untuk menguasai semuanya, Dengan demikian diharapkan tasawuf akan memberikan sedikitnya petunjuk tentang siapa manusia itu sesungguhnya, dan dengan demikian memberi solusi terhadap krisis identitas yang banyak diderita oleh manusia modern.
Selain itu, tasawuf juga mengajarkan kepada kita bahwa alam bukanlah realitas independen yang tidak punya kaitan apa pun dengan realitas-realitas yang lebih tinggi, seperti malaikat atau bahkan Tuhan. Bagi para sufi, alam memilki banyak fungsi dalam kaitannya degan realitas-realitas tinggi tersebut. Betapa tidak, bagi mereka alam adalah ayat (tanda-tanda) bagi keberadaan dan keagungan Penciptanya. Alam, karena itu, adalah tanda-tanda ilahi, lewat mana manusia dapat mengenal Tuhannya. Karena itu, ia memiliki fungsi simbolis. Alam juga dipandang sebagi barakah, lewat mana Tuhan mengekspresikam kasih sayang-Nya yang tulus dan uneversal kepada makhluk-makhluk-Nya di dunia ini, khususnya manusia, yang telah dijadikan wakil-Nya di muka bumi, dan menurut para sufi bahkan telah menjadi tujuan akhir pencipta alam. Lewat alamlah kasih sayang Tuhan termanifestasi dengan baik dan jelas. Dan siapa pun yang memiliki sensitivitas kerohanian akan merasakannya dan mengakuinya.
B. SARAN
Dapatkah tasawuf memberi petunjuk arah bagi manusia modern ynag telah mengalami disorientasi? Jawabnya, mungkin saja. Ketika manusia modern telah kehilangan identitas dirinya, maka tasawuf dapat memberikan pengertian yang lebih koprehensif tentang siapa manusia itu sesungguhnya. Dari ajaran para sufi, misalnya, kita jadi paham betapa manusia itu bukan hanya makhluk fisik, tetapi juga makhluk spiritual, yang memiliki asal-usul spiritualnya pada Tuhan. Dengan menyadari betapa manusia itu juga adalah makhluk spiritual, di samping fisiknya, maka lebih mungkin kita akan bertindak lebih bijak dan seimbang dalam memperlakukan diri kita. Tentunya kita tidak hanya akan memerhatikan dimensi fisik saja, sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya orang-orang modern, tapi juga aspek spiritualnya, dengan memerhatikan kesejahteraan, kebersihan dan kesehatan jiwanya. Dengan demikian, ia kan mendapatkan jiwa dan raga yang sehat dan seimbang.
DAFTAR PUSTAKA
Kartanegara, Mulyadhi. 2006. Menyelami Lubuk Tasawuf. Erlangga : Jakarta.
Sri Mulyati, MA. 2004. Mengenal dan memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia. Prenada Media : Jakarta.
Amin, M. Al-Misri, Dr, 1987. Pedoman PendidikanMasarakta islam Modern. Husaini : Bandung.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment