Tuesday 13 October 2009

Pengertian Tasawuf

TASAWUF SEBAGAI JALAN PENDEKATAN
DIRI KEPADA TUHAN









DISUSUN OLEH:
Donna margi



FAKULTAS TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2008

PENDAHULUAN

Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, Pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya.
Nilai-nilai baik buruk, terpuji dan tercela berlaku kapan dan dimana saja dalam semua aspek kehidupan yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Jadi akhlak dalam Islam bukanlah akhlak yang kondisional tetapi mempunyai nilai yang pasti. Dalam persoalan ini, fitrah manusia sebagai makhluk yang berakhlak, berkewajiban menjalankan dan menjaga akhlak yang baik serta menjauhi dan meninggalkan akhlak yang buruk. Dan sebagai muslim, sepantasnyalah kita berupaya untuk terus menghidupkan pengetahuan, kesadaran dan kemampuan untuk menerapkan perintah agama sebagaimana yang telah ditunjukkan Allah SWT melalui wahyu-Nya.
Dalam era glabalisasi saat ini, kemerosotan akhlak, etika, dan moral sudah semakin terasa. Fenomena-fenomena sosial memunculkan berbagai anggapan tentang akhlak orang-orang Islam. Oleh karena itu, kita harus mengevaluasinya yang dimulai dari diri kita sendiri, sejauh mana kita mampu menjalankan akhlak yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Ajaran-ajaran Islam ditujukan untuk kesejahteraan manusia. Dalam bidang akhlak ini, Islam menjunjung tinggi tolong-menolong, saling menasehati tentang hak dan kesabaran, kesetiakawanan, egaliter (kesamaan derajat), tenggang rasa, dan kebersamaan. Dari hal itu dapat diketahui bahwa derajat manusia ditentukan oleh ketakwaannya dan ditunjukkan dengan prestasi yang baik dimana prestasi itu diraih dengan mengikuti akhlak yang baik.



INTI MAKALAH

1. PENGERTIAN TASAWUF
Tujuan tasawuf adalah mendekatkan diri sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga ia dapat melihat-Nya dengan mata hati bahkan rohnya dapat bersatu dengan Roh Tuhan. Filsafat yang menjadi dasar pendekatan diri itu adalah, pertama, Tuhan bersifat rohani, maka bagian yang dapat mendekatkan diri dengan Tuhan adalah roh, bukan jasadnya. Kedua, Tuhan adalah Maha Suci, maka yang dapat diterima Tuhan untuk mendekatiNya adalah roh yang suci. Tasawuf adalah ilmu yang membahas masalah pendekatan diri manusia kepada Tuhan melalui penyucian rohnya

2. ASAL KATA SUFI
Tidak mengherankan kalau kata sufi dan tasawuf dikaitkan dengan kata-kata Arab
yang mengandung arti suci. Penulis-penulis banyak mengaitkannya dengan kata:
1) Safa dalam arti suci dan sufi adalah orang yang disucikan. Dan memang, kaum sufi banyak berusaha menyucikan diri mereka melalui banyak melaksanakan ibadat, terutama salat dan puasa.
2) Saf (baris). Yang dimaksud saf di sini ialah baris pertama dalam salat di mesjid. Saf pertama ditempati oleh orang-orang yang cepat datang ke mesjid dan banyak membaca ayat-ayat al-Qur'an dan berdzikir sebelum waktu salat datang. Orang-orang seperti ini adalah yang berusaha membersihkan diri dan dekat dengan Tuhan.
3) Ahl al-Suffah, yaitu para sahabat yang hijrah bersama Nabi ke Madinah dengan meninggalkan harta kekayaannya di Mekkah. Di Madinah mereka hidup sebagai orang miskin, tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku batu dengan memakai suffah, (pelana) sebagai bantal. Ahl al-Suffah, sungguhpun tak mempunyai apa-apa, berhati baik serta mulia dan tidak mementingkan dunia. Inilah pula sifat-sifat kaum sufi.
4) Sophos (bahasa Yunani yang masuk kedalam filsafat Islam) yang berarti hikmat, dan kaum sufi pula yang tahu hikmat. Pendapat ini memang banyak yang menolak, karena kata sophos telah masuk kedalam kata falsafat dalam bahasa Arab, dan ditulis dengan sin dan bukan dengan shad seperti yang terdapat dalam kata tasawuf.

5) Suf (kain wol). Dalam sejarah tasawuf, kalau seseorang ingin memasuki jalan tasawuf, ia meninggalkan pakaian mewah yang biasa dipakainya dan diganti dengan kain wol kasar yang ditenun secara sederhana dari bulu domba. Pakaian ini melambangkan kesederhanaan serta kemiskinan dan kejauhan dari dunia.

Diantara semua pendapat itu, pendapat terakhir inilah yang banyak diterima sebagai asal kata sufi. Jadi, sufi adalah orang yang memakai wol kasar untuk menjauhkan diri dari dunia materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani. Orang yang pertama memakai kata sufi kelihatannya Abu Hasyim al-Kufi di Irak (w.150 H).

3. ASAL-USUL TASAWUF
Karena tasawuf timbul dalam Islam sesudah umat Islam mempunyai kontak dengan agama Kristen, filsafat Yunani dan agama Hindu dan Buddha, muncullah anggapan bahwa aliran tasawuf lahir dalam Islam atas pengaruh dari luar.
Ada yang mengatakan bahwa pengaruhnya datang dari rahib-rahib Kristen yang mengasingkan diri untuk beribadat dan mendekatkan diri kepada Tuhan di gurun pasir Arabia. Tempat mereka menjadi tujuan orang yang perlu bantuan di padang yang gersang. Di siang hari, kemah mereka menjadi tempat berteduh bagi orang yang kepanasan; dan di malam hari lampu mereka menjadi petunjuk jalan bagi musafir. Rahib-rahib itu berhati baik, dan pemurah dan suka menolong. Sufi juga mengasingkan diri dari dunia ramai, walaupun untuk sementara, berhati baik, pemurah dan suka menolong.
Pengaruh filsafat Yunani dikatakan berasal dari pemikiran mistik Pythagoras. Dalam filsafatnya, roh manusia adalah suci dan berasal dari tempat suci, kemudian turun ke dunia materi dan masuk ke dalam tubuh manusia yang bernafsu. Roh yang pada mulanya suci itu menjadi tidak suci dan karena itu tidak dapat kembali ke tempatnya semula yang suci. Untuk itu ia harus menyucikan diri dengan memusatkan perhatian pada fllsafat serta ilmu pengetahuan dan melakukan beberapa pantangan. Filsafat sufi juga demikian. Roh yang masuk ke dalam janin di kandungan ibu berasal dari alam rohani yang suci, tapi kemudian dipengaruhi oleh hawa nafsu yang terdapat dalam tubuh manusia. Maka untuk dapat bertemu dengan Tuhan Yang Maha Suci, roh yang telah kotor itu dibersihkan dulu melalui ibadat yang banyak.
Paham penyucian diri melalui reinkarnasi tak terdapat dalam ajaran tasawuf. Paham itu memang bertentangan dengan ajaran al-Qur'an bahwa roh, sesudah tubuh mati tidak akan kembali ke hidup serupa di bumi. Sesudah bercerai dengan tubuh, roh pergi ke alam barzah menunggu datangnya hari perhitungan. Tapi, konsep Plotinus tentang bersatunya roh dengan Tuhan di dunia ini, memang terdapat dalam tasawuf Islam.
Hakekat tasawuf kita adalah mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya Tuhan kepada manusia disebut al-Qur'an dan Hadits. Ayat 186 dari surat al-Baqarah mengatakan, "Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka Aku dekat dan mengabulkan seruan orang yang memanggil jika Aku dipanggil."
Kaum sufi mengartikan do'a disini bukan berdo'a, tetapi berseru, agar Tuhan mengabulkan seruannya untuk melihat Tuhan dan berada dekat kepada-Nya. Dengan kata lain, ia berseru agar Tuhan membuka hijab dan menampakkan diri-Nya kepada yang berseru. Tentang dekatnya Tuhan, digambarkan oleh ayat berikut, "Timur dan Barat kepunyaan Tuhan, maka kemana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan" (QS. al-Baqarah 115). Ayat ini mengandung arti bahwa dimana saja Tuhan dapat dijumpai. Tuhan dekat dan sufi tak perlu pergi jauh, untuk menjumpainya.
Ayat berikut menggambarkan lebih lanjut betapa dekatnya Tuhan dengan manusia, "Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Dan Kami lebih dekat dengan manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya (QS. Qaf 16). Ayat ini menggambarkan Tuhan berada bukan diluar diri manusia, tetapi di dalam diri manusia sendiri. Karena itu hadis mengatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya mengetahui Tuhannya."

Untuk mencari Tuhan, sufi tak perlu pergi jauh; cukup ia masuk kedalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dalam konteks inilah ayat berikut dipahami kaum sufi, "Bukanlah kamu yang membunuh mereka, tapi Allah-lah yang membunuh dan bukanlah engkau yang melontarkan ketika engkau lontarkan (pasir) tapi Allah-lah yang melontarkannya (QS. al-Anfal 17).

Disini, sufi melihat persatuan manusia dengan Tuhan. Perbuatan manusia adalah perbuatan Tuhan. Bahwa Tuhan dekat bukan hanya kepada manusia, tapi juga kepada makhluk lain sebagaimana dijelaskan hadis berikut, "Pada mulanya Aku adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal. Maka Kuciptakan makhluk, dan melalui mereka Aku-pun dikenal."
Disini terdapat paham bahwa Tuhan dan makhluk bersatu, dan bukan manusia saja yang bersatu dengan Tuhan. Kalau ayat-ayat diatas mengandung arti ittihad, persatuan manusia dengan Tuhan, hadits terakhir ini mengandung konsep wahdat al-wujud, kesatuan wujud makhluk dengan Tuhan.

4. JALAN PENDEKATAN DIRI KEPADA TUHAN
Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Sebagaimana telah di sebut diatas penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur.
Jelas kiranya bahwa usaha penyucian diri, langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosa-dosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosa-dosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir.
Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat.
Dalam arti serupa inilah harus diartikan kata-kata yang diucapkan lidah sufi ketika berada dalam ittihad yaitu kata-kata yang pada lahirnya mengandung pengakuan sufi seolah-olah ia adalah Tuhan. Abu Yazid, seusai sembahyang subuh, mengeluarkan kata-kata, "Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku, Aku adalah Allah. Tiada Allah selain Aku, maka sembahlah Aku."

Dalam istilah sufi, kata-kata tersebut memang diucapkan lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak berarti bahwa ia mengakui dirinya Tuhan. Mengakui dirinya Tuhan adalah dosa terbesar, dan sebagaimana dilihat pada permulaan makalah ini, agar dapat dekat kepada Tuhan, sufi haruslah bersih bukan dari dosa saja, tetapi juga dari syubhat. Maka dosa terbesar tersebut diatas akan membuat Abu Yazid jauh dari Tuhan dan tak dapat bersatu dengan Dia. Maka dalam pengertian sufi, kata-kata diatas betul keluar dari mulut Abu Yazid. Dengan kata lain, Tuhanlah yang mengaku diri-Nya Allah melalui lidah Abu Yazid. Karena itu dia pun mengatakan, "Pergilah, tidak ada di rumah ini selain Allah Yang Maha Kuasa. Di dalam jubah ini tidak ada selain ALLAH."

yang mengucapkan kata-kata itu memang lidah Abu Yazid, tetapi itu tidak mengandung pengakuan Abu Yazid bahwa ia adalah Tuhan. Itu adalah kata-kata Tuhan yang diucapkan melalui lidah Abu Yazid.

Sufi lain yang mengalami persatuan dengan Tuhan adalah Husain Ibn Mansur al-Hallaj (858-922 M), yang berlainan nasibnya dengan Abu Yazid. Nasibnya malang karena dijatuhi hukuman bunuh, mayatnya dibakar dan debunya dibuang ke sungai Tigris. Hal ini karena dia mengatakan, "Ana 'l-Haqq (Akulah Yang Maha Benar).

Pengalaman persatuannya dengan Tuhan tidak disebut ittihad, tetapi hulul. Kalau Abu Yazid mengalami naik ke langit untuk bersatu dengan Tuhan, al-Hallaj mengalami persatuannya dengan Tuhan turun ke bumi. Dalam literatur tasawuf hulul diartikan, Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk bersemayam didalamnya dengan sifat-sifat ketuhanannya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dihancurkan.

Di sini terdapat juga konsep fana, yang dialami Abu Yazid dalam ittihad sebelum tercapai hulul. Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai dua sifat dasar: nasut (kemanusiaan) dan lahut (ketuhanan). Demikian juga Tuhan mempunyai dua sifat dasar, lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Landasan bahwa Tuhan dan manusia sama-sama mempunyai sifat diambil dari hadits yang menegaskan bahwa Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan bentuk-Nya.
Hadits ini mengandung arti bahwa didalam diri Adam ada bentuk Tuhan dan itulah yang disebut lahut manusia. Sebaliknya didalam diri Tuhan terdapat bentuk Adam dan itulah yang disebut nasut Tuhan. Hal ini terlihat jelas pada syair al-Hallaj sebagai berikut:
Yang ada dalam alam ini kelihatannya banyak tetapi pada hakekatnya satu. Keadaan ini tak ubahnya sebagai orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di sekelilingnya. Di dalam tiap cermin, ia lihat dirinya. Di dalam cermin, dirinya kelihatan banyak, tetapi pada hakekatnya dirinya hanya satu. Yang lain dan yang banyak adalah bayangannya.

Oleh karena itu ada orang yang mengidentikkan ajaran wahdat al-wujud Ibn Arabi dengan panteisme dalam arti bahwa yang disebut Tuhan adalah alam semesta. Jelas bahwa Ibn Arabi tidak mengidentikkan alam dengan Tuhan. Bagi Ibn Arabi, sebagaimana halnya dengan sufi-sufi lainnya, Tuhan adalah transendental dan bukan imanen. Tuhan berada di luar dan bukan di dalam alam. Alam hanya merupakan penampakan diri atau tajalli dari Tuhan.

Ajaran wahdat al-wujud dengan tajalli Tuhan ini selanjutnya membawa pada ajaran al-Insan al-Kamil yang dikembangkan terutama oleh Abd al-Karim al-Jilli (1366-1428). Dalam pengalaman al-Jilli, tajalli atau penampakan diri Tuhan mengambil tiga tahap tanazul (turun), ahadiah, Huwiah dan Aniyah.

Pada tahap ahadiah, Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-'ama, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap hawiah nama dan sifat Tuhan telah muncul, tetapi masih dalam bentuk potensial. Pada tahap aniah, Tuhan menampakkan diri dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya pada makhluk-Nya. Di antara semua makhluk-Nya, pada diri manusia Ia menampakkan diri-Nya dengan segala sifat-Nya.

Sungguhpun manusia merupakan tajalli atau penampakan diri Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, tajalli-Nya tidak sama pada semua manusia. Tajalli Tuhan yang sempurna terdapat dalam Insan Kamil. Untuk mencapai tingkat Insan Kamil, sufi mesti mengadakan taraqqi (pendakian) melalui tiga tingkatan: bidayah, tawassut dan khitam.

Pada tingkat bidayah, sufi disinari oleh nama-nama Tuhan, dengan kata lain, pada sufi yang demikian, Tuhan menampakkan diri dalam nama-nama-Nya, seperti Pengasih, Penyayang dan sebagainya (tajalli fi al-asma). Pada tingkat tawassut, sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan, seperti hayat, ilmu, qudrat dll. Dan Tuhan ber-tajalli pada sufi demikian dengan sifat-sifat-Nya. Pada tingkat khitam, sufi disinari dzat Tuhan yang dengan demikian sufi tersebut ber-tajalli dengan dzat-Nya. Pada tingkat ini sufi pun menjadi Insan Kamil. Ia menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Dialah bayangan Tuhan yang sempurna. Dan dialah yang menjadi perantara antara manusia dan Tuhan. Insan Kamil terdapat dalam diri para Nabi dan para wali. Di antara semuanya, Insan Kamil yang tersempurna terdapat dalam diri Nabi Muhammad.

Demikianlah, tujuan sufi untuk berada sedekat mungkin dengan Tuhan akhirnya tercapai malalui ittihad serta hulul yang mengandung pengalaman persatuan roh manusia dengan roh Tuhan dan melalui wahdat al-wujud yang mengandung arti penampakan diri atau tajalli Tuhan yang sempurna dalam diri Insan Kamil.

Sementara itu tasawuf pada masa awal sejarahnya mengambil bentuk tarekat, dalam arti organisasi tasawuf, yang dibentuk oleh murid-murid atau pengikut-pengikut sufi besar untuk melestarikan ajaran gurunya. Di antara tarekat-tarekat besar yang terdapat di Indonesia adalah Qadiriah yang muncul pada abad ke-13 Masehi untuk melestarikan ajaran Syekh Abdul Qadir Jailani (w. 1166 M), Naqsyabandiah, muncul pada abad ke-14 bagi pengikut Bahauddin Naqsyabandi (w. 1415 M), Syattariah, pengikut Abdullah Syattar (w. 1415 M), dan Tijaniah yang muncul pada abad ke-19 di Marokko dan Aljazair. Tarekat-tarekat besar lain diantaranya adalah Bekhtasyiah di Turki, Sanusiah di Libia, Syadziliah di Marokko, Mesir dan Suria, Mawlawiah (Jalaluddin Rumi) di Turki, dan Rifa'iah di Irak, Suria dan Mesir.





PENUTUP
Tasawuf ialah "membersihkan hati dan anggota-anggota lahir daripada dosa-dosa, esalahan dan kesilapan". Artinya bersih luar dan bersih di dalam.Bersih di dalam: Maksudnya membersihkan hati daripada riyak, ujub, pendendam dan lain-lain mazmumah, lebih-lebih lagi daripada syirik.Bersih di luar: Maksudnya bersih daripada membuat yang haram, berpakaian yang haram, bercakap yang haram, menjaga mata, telinga daripada melihat dan mendengar yang haram serta lain-lain.
Bersih daripada kesalahan dan kesilapan lebih sulit lagi. Kadang-kadang kesalahan atau kesilapan itu kita tidak terasa dosa. Ini yang susah dikesan. Contohnya:
Datang tetamu ke rumah tapi kita sembahyang sunat. Sepatutnya waktu itu tidak payah sembahyang sunat tapi pergi melayan tetamu. Dia memilih perbuatan yang kecil dengan meninggalkan perkara yang besar. Dia memilih yang sunat dan meninggalkan yang wajib.
Beri sedekah di tengah orang ramai atau isytihar sedekah dalam media massa. Sepatutnya dia rasa berdosa, rasa malu sebab berbangga-bangga. Dalam berbuat baik itu berlaku dosa. Oleh itu kena usahakan dengan cara beri sedekah secara sembunyi-sembunyi atau minta disampaikan melalui orang lain.
Bilal sudah iqamah, kita masih leka dan berat hendak bangun mendirikan sembahyang. Sepatutnya kita jadi macam tentera, bunyi wisel saja terus bingkas. Itulah yang afdhal. Jadi, bila iqamah saja teruslah bangun untuk menyusun saf. Dalam Islam, selagi saf makmum tidak lurus, imam tidak boleh angkat takbir. Jika tidak, imam dikira sembahyang seorang, bukan sembahyang berjemaah.
Ketika membeli kalau boleh jangan tawar-menawar. Apatah lagi tawar-menawar yang berlebih-lebihan sehingga menimbulkan rasa tidak senang hati.
Ketika berdakwah jangan menyebut nama atau menyentuh peribadi orang tertentu atau memalukan orang lain.
Tasawuf Merupakan Intipati atau Isi Ajaran Islam




DAFTAR KEPUSTAKAAN

Arberry, A.J., Sufism, London, George Allan and Unwin Ltd., 1963.
Badawi, A.R., Syatahat al-Sufiah, Cairo, al-Nahdah al-Misriah, 1949.
Corbin, H., Histoire de la Philosophie Islamique, Paris, Gallimard, 1964.

No comments:

Post a Comment